Tribun Kaltim/Kholish Chered
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Kholish Chered
FAKTOR apa yang membuat puluhan ribu orang bersedia membayar 200 SGD (sekitar Rp 1,9 juta) untuk selembar tiket festival berdurasi 3 jam? Ada banyak kemungkinan jawaban. Yang pasti, pertunjukan itu tentu sangat menarik, penuh pesona, dan berkelas dunia.
Hal itulah yang terjadi pada Chingay Parade 2014, parade jalanan Singapura, yang disebut-sebut terbesar di Asia. Dihelat 7 dan 8 Februari lalu, parade ini melibatkan sekitar 2.000 orang panitia, 8.000 penampil dalam 36 kontingen yang berasal dari 130 organisasi, 160.000 audiens di arena, juga 1,4 juta audiens televisi Channel 8.
Acara tersebut diorganisir sekaligus ditampilkan oleh organisasi non pemerintah bernama People's Association, dengan pengisi acara dari berbagai bangsa. Meskipun mayoritas panitia maupun pengisi acara adalah warga Singapura, namun nuansa keberagaman global tetap kental terasa.
Sebelum parade dimulai, dilakukan beberapa kegiatan pendahuluan (pre-parade). Adapun parade dibagi dalam tujuh segmen. Yaitu opening (tarian Qiao Hua Dan, paint with one heart, happy lunar new year, lion dance dan string lion dance), kemudian segmen Our Ethnic Culture, berupa sesi ditampilkannya anyaman jati (weaving personas) dan joy of colours.
Berikutnya segmen Exuberance of youth, semacam pentas anak muda (elegance in white, latin cha cha, broadway youngstarz, magic payground), dilanjutkan segmen global cultures (Japanese Culture, Indonesia Cultute, international Medley Item (Maesta della Battaglia-Italia, Sunhwa Dance Troupe-Korea, Koronadal Hinugway Cultural Dance Troupe-Philippines).
Tiga segmen terakhir adalah Local Flavours, Move Community (we are one), dan segmen Finale yang diisi passion community drama dan sesi simbolik merajut dengan satu hati (knit with one heart). Seluruh sesi berjalan dengan lancar dan begitu tertata.
Terlepas dari polemik KRI Usman-Harun dan batalnya kontingen Indonesia hadir di Singapore Airshow, menarik untuk mengintip rahasia di balik kekuatan dan keterampilan manajemen pertunjukan kelas dunia yang dimiliki negeri jiran tersebut. Dari pengamatan Tribun Kaltim (Tribunnews.com Network), setidaknya terdapat 10 faktor pendukung.
Pertama, pemilihan lokasi pertunjukan yang tepat. Beberapa tahun terakhir, penyelenggara memilih Formula 1 Pit Building sebagai lokasi. Bagian dari sirkuit jalanan F1 ini mudah diakses publik dan memiliki fasilitas yang lengkap. Dengan badan jalan yang lebar, memudahkan kontingen bermanuver dan puluhan floats(kendaraan hias) untuk melintas. Plus pemandangan yang indah di tepi sungai Marina Barrage.
Kedua, koordinasi konseptual dan manajemen lapangan yang matang. Dalam kegiatan tahunan ini, sekitar 2.000 relawan (volunteers) bergabung. Mereka berkontribusi total tanpa dibayar. Sebelum, saat, dan sesudah acara pun para relawan tetap solid bekerja. Mereka tersebar mulai dari pintu masuk, arena inti, hingga sampai pintu keluar. Mereka mengatur konsumsi hingga antrean bus kontingen.
Ketiga, panitia dengaan cermat "memanjakan audiens". Warga yang telah membeli tiket mahal tentu menginginkan pelayanan prima. Panitia dengan sigap menata lokasi sehingga peserta masuk tanpa antre mengular panjang, duduk di posisi yang nyaman untuk mengambil foto dan video, juga memberikan marchandise yang menarik. Faktor keamanan pun diperhatikan dengan pengamanan berlapis.
Keempat, manajemen keuangan yang kuat dan dukungan sponsorship yang luas. Informasi yang dihimpun Tribun Kaltim, Parade Chingay tidak menggunakan dana negara. Panitia dan penampil seni sama-sama tidak dibayar. Justru mereka yang "urunan" swadaya untuk menampilkan karya terbaik. Hasil penjualan tiket tahun berjalan dialokasikan sebagai sumber dana acara tahun depan.
Kelima, manajemen kontingen pengisi acara yang matang. Para kontingen sejak awal sudah dibagi ke dalam tenda-tenda raksasa yang tersebar di sekitar arena. Dengan penempatan ini, memudahkan kontingen untuk berkoordinasi dan setiap elemen kontingen menjadi paham di mana basecamp-nya.
Tak lupa, panitia sudah menyiapkan konsumsi secara prima. Baru datang ke lokasi acara, sajian makanan utama dan snack sudah tersedia untuk setiap kontingen. Bukan pas-pasan, tapi dilebihkan. Tampaknya panitia juga menyusun variasi menu sesuai "lidah" kontingen. Sehingga, misalnya, menu kontingen Indonesia berbeda dengan kontingen Italia.
Keenam, panitia juga "rajin" melakukan evaluasi setiap detail acara. Sejak gladi kotor dan bersih (pre-performing), panitia terus mencermati performa setiap kontingen. Bahkan di kontingen Indonesia, terjadi perubahan pada posisi urutan sentral dari Sanggar Seni Greget Semarang kepada Jember Fashion Carnaval.
Ketujuh, rangkaian pre-parade yang matang. Begitu jelas keseriusan panitia dalam mengatur gladi bersih dan kotor. Keseriusan ini akhirnya "menular" kepada para kontingen. Termasuk kontingen Indonesia yang rata-rata masih kelelahan setelah perjalanan, namun tetap maksimal dalam dua hari gladi.
Selain itu, rangkaian kegiatan pendahuluan di Singapura sudah disiapkan jauh-jauh hari. Seperti kegiatan merajut yang dilakukan 12.000 warga yang bergabung dalam knit with one heart community engagement (pada 480 workshop). Plus kegiatan melukis yang dilakukan 40.000 warga yang bergabung dalam paint with one heart community engagement.
Kedelapan, kekuatan promosi dan publikasi. Panitia begitu serius dalam mengelola aspek penting ini. Meskipun demikian, panitia tetap memberlakukan aturan yang ketat untuk pers. Dalam sesi press briefing, panitia sudah membagi ID card pers ke dalam dua kategori, yaitu jurnalis dan fotografer (plus videografer). Pemegang ID card diarahkan menempati zona yang sudah ditentukan.
Kesembilan, faktor kekuatan lighting dan permainan laser. Singapura termasuk negara yang "berani" menggelar event di waktu malam, seperti Formula 1. Mereka percaya diri karena memiliki keterampilan penata cahayaan yang baik. Keterampilan ini pun terlihat sepanjang parade.
Kesepuluh, penataan suara dan musik yang matang. Soundsystem berkekuatan besar plus seni musik berbasis high tech dimainkan hampir tanpa cela. Meskipun musik untuk kontingen Indonesia sempat mati di zona terakhir saat acara penutupan, hal tersebut seolah tertutupi dengan matangnya penataan aspek-aspek lainnya.
Perintis Sanggar Tari Greget-Semarang, Yoyok B Priyambodo, mengatakan ajang Chingay Street Parade 2014 merupakan pembelajaran yang baik bagi seniman di Indonesia dan pemegang kebijakan di bidang kebudayaan. Ia pun berharap parade berskala internasional bisa dilaksanakan di Indonesia.
"Selama ini, parade di Indonesia polanya hanya jalan. Tidak ada titik berhenti, dan performing di 6 titik. Lighting, sound system, penataan penonton, dan manajerial pertunjukan di Chingay merupakan contoh yang baik untuk diadopsi," kata Yoyok.
Pada Chingay Parade 2014, kontingen Indonesia diwakili para seniman dari Purwakarta, Kutai Timur (tim kesenian Desa Miau Baru dan Long Noran binaan Lembaga Pembinaan Kebudaayaan Daerah Kabupaten Kutai Timur (LPKDKTT), Semarang (sanggar seni Greget), Jember Fashion Carnaval (JFC), serta SMPN Ngamprah Bandung,(*/bersambung)