Jakarta - Indonesia akan menjadi bangsa yang besar jika pembangunannya bertumpu pada dua realitas utama yang dimiliki bangsa dan negara. Realitas yang pertama adalah realitas geografis, yaitu sebuah negara kepulauan, dan realitas kedua apa yang disebut realitas sosial budaya, yakni sebuah bangsa yang majemuk.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riwanto Tirtosudarmo menjelaskan, Indonesia sejak awal sudah menyadari posisinya yang sangat strategis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena letaknya di antara dua benua (Asia dan Australia) dan di antara dua samudra (Hindia dan Pasifik).
Dalam tanah maupun airnya Indonesia menyimpan kekayaan alam yang tidak terhingga yang menjadikannya menjadi ajang perebutan bangsa lain di dunia.
Namun demikian, dalam perkembangan politik setelah kemerdekaan, terutama dengan menguatnya peranan Angkatan Darat sebagai sebuah kekuatan politik, semakin menegaskan posisi Indonesia yang lebih berorientasi ke darat dibandingkan ke laut.
"Dalam masa pemerintahan Jenderal Soeharto sebagai presiden, sentralisasi politik maupun ekonomi mengalami puncaknya dan menjadikan Jawa secara tuntas sebagai pusat Indonesia," kata Riwanto dalam diskusi "Sistem Kemasyarakatan dalam Kebudayaan Maritim" yang digagas Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Sabtu (15/2).
Riwanto menjelaskan, pada tahun 1957, pemerintah Indonesia sesungguhnya telah mendeklarasikan diri sebagai negara kepulauan, yang kemudian dikenal dengan "Deklarasi Djuanda". Dalam deklarasi ini, Indonesia mengklaim batas teritorial laut yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil.
"Namun, sebagaimana kita lihat dalam perkembangannya, klaim tentang hak atas wilayah laut dan pernyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbukti tidak didukung oleh misalnya peningkatan kapasitas Angkatan Laut secara memadai," jelasnya.
Dalam sejarah perkembangan bangsa, konstruksi Indonesia sebagai archipelagic state atau negara yang semestinya berbasis maritim telah berkembang menjadi negara yang berorientasi darat yang berpusat di Jawa, khususnya Pantai Utaranya.
"Kesadaran bahwa sumber kegagalan pembangunan menjadi bangsa yang adil dan makmur bersumber dari cara berpikir dan sebuah strategi yang sangat berorientasi ke darat," ucap Riwanto.
Untuk menatap masa depan, ditegaskan Riwanto, sedikitnya ada tiga tantangan besar yang dihadapi Indonesia.
Pertama, harus dipahami pola pembangunan yang berorientasi ke darat yang sudah dijalankan secara intensif sejak 1970-an terbukti telah menghasilkan berbagai dampak yang mengindikasikan semakin jauhnya cita-cita tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Kedua, mulai perlu dilakukan upaya-upaya rintisan untuk memikirkan alternatif pembangunan jangka panjang bangsa berdasarkan realitas geografis yang berupa kepulauan.
Ketiga, mengubah orientasi ekonomi dari darat ke laut atau dari " land based to maritime based economy" sebagai realitas dari cita-cita bangsa. Untuk menuwudkannya, berbagai syarat harus dipenuhi. Termasuk di antaranya kepemimpinan yang visioner serta dibangunnya format dan sistem politik yang dapat menunjang keberagaman bangsa.
Pakar Ilmu Sejarah UI (Universitas Indonesia), Susanto Zuhdi, menjelaskan, nafas kehidupan masyarakat di nusantara seharusnya adalah laut itu sendiri.
"Jika benar bangsa ini mengabaikan laut, sungguh merupakan ironi luar biasa. Itu juga berarti merupakan hal yang kontradiktif, karena kehidupan masyarakat kepulauan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari laut," kata Susanto.