February 14, 2014

LBH Apik Indonesia Minta Pembentukan Pengadilan Keluarga


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum Apik bersama Jaringan Prolegnas Pro Perempuan mendesak pemerintah membentuk pengadilan keluarga yang terpadu.


Hal itu dimaksudkan sebagai kebutuhan mendesak terbukanya akses yang lebih luas terhadap keadilan. Koordinator LBH Apik, Khotimun Sutanti menuturkan, pemisahan penanganan perkara perdata dan pidana dalam kasus yang menyangkut hubungan keluarga seperti perkawinan dan kekerasan dalam rumah tangga dalam sistem peradilan Indonesia menimbulkan dampak kerugian bagi perempuan korban KDRT. Menurutnya, mayoritas istri yang mengalami KDRT lebih memilih menyelesaikan masalahnya dengan melakukan perceraian dari pada memperkarakan kasus KDRT-nya. "Kami meminta Mahkamah Agung untuk mengambil langkah untuk menghapuskan impunitas dengan mengadop dan melembagakan sistem kamar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam hubungan keluarga sebagai pelaksanaan UU Perkawinan dan UU KDRT," kata Khotimun di depan Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (14/2/2014). Khotimun menuturkan, pengadilan keluarga yang terintegrasi untuk mempermudah proses dalam menyelesaikan perkara KDRT di pengadilan. Menurutnya, pemisahan perkara dalam kasus KDRT menyebabkan proses penyelesaian perkara menjadi lebih panjang dan mahal. "Hal itu menyebabkan impunitas bagi pelaku KDRT," tuturnya. Lebih jauh Khotimun mengatakan, pengadilan kerap tidak mempertimbangkan terjadinya KDRT yang menjadi penyebab terjadinya perceraian. Menurutnya, dalam banyak kasus, para istri yang mengajukan gugatan perceraian karena KDRT justru kehilangan hak-haknya. "Hak-hak korban KDRT yang hilang antara lain tidak memperoleh nafkah iddah atau uang mut'ah," ucapnya.