July 22, 2013

Awas, Dampak Destruktif Film The Act of Killing


Aksi mahasiswa di tahun 1965. (Foto: jakarta.go.id)


JAKARTA - Pemutaran film " The Act of Killing" dengan disertai tanya jawab dan diskusi di berbagai kota di Inggris dan Irlandia yang diprakarsai LSM Tapol Inggris bekerjasama dengan The Bertha Foundation dan Picturehousen Cinemas telah berlangsung sejak 28 Juni 2013 dan dilanjutkan hingga Oktober 2013. Pengamat politik dari Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Datuak Alat Tjumano, menilai pemutaran film ini merupakan propaganda dan kampanye yang ditujukan untuk mendesak Pemerintah RI agar mengakui akan adanya kebenaran atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan pada 1965 serta Pemerintah RI meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban. Dia menambahkan, untuk meminimalisir dampak negatif film tersebut, perlu ada kesaksian dari kalangan akademisi yang mempunyai latar pendidikan di Barat atau AS serta mengetahui hiruk pikuk yang terjadi pada 1965. Menurut lelaki asal Minang ini, film tersebut sangat tidak relevan untuk ditayangkan oleh Inggris, dan jika Inggris menayangkan film tersebut merupakan bentuk "hipokrit", karena pada kenyataannya Inggris juga telah banyak membunuh rakyat Indonesia sejak perang kemerdekaan di Jawa Timur. "Film'The Act of Killing' harus segera ditanggapi oleh pemerintah, terutama oleh warga NU dan warga Masyumi, karena film tersebut hanya membela eks PKI. Padahal, banyak warga NU terutama kiai yang dibantai oleh orang PKI," katanya dalam keterangan tertulisnya kepada PUBLIKPOST.BLOGSPOT.COM, Senin (22/7/2013). Sebelumnya, pengamat politik lainnya Herdiansyah Rahman mengatakan, perlu mewaspadai terhadap kemungkinan kebangkitan gerakan komunis di Indonesia, karena mereka menggunakan segala taktik dan strategi. Walaupun pada 1992 paham komunis di seluruh dunia runtuh akibat kegagalan paham ideologi Marxisme, Leninisme dan Maoisme. "Sekarang ini banyak pengaruh dan paham PKI di Indonesia melalui isu HAM," katanya. Menurut lelaki yang pernah mengadakan penelitian di Aceh ini, kebangkitan PKI di Indonesia dengan memanfaatkan euforia reformasi, kebebasan berdemokrasi, isu HAM, kebodohan dan kemiskinan masyarakat serta keraguan aparat hukum. Alumnus Fisipol Universitas Jember ini menjelaskan, pendukung Marxisme, Leninisme dan Maoisme di Indonesia untuk melampiaskan dendam, mereka dengan cara memutarbalikkan fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, menghasut, menyuap, mengintimidasi dan lain-lain. Herdiansyah menilai, upaya kelompok eks PKI yang didukung oleh kekuatan non state aktor baik di dalam negeri dan terutama luar negeri dalam rangka menuntut pelurusan sejarah, permintaan maaf dan rehabilitasi atas kejadian 1965 terus dilakukan melalui berbagai macam kegiatan, baik melalui media massa, forum publik, pembuatan film, diskusi, seminar dll, walaupun sejauh ini hasilnya masih nihil.(hol)


Berita Selengkapnya Klik di Sini